Mengenai Saya

Foto saya
Pekanbaru, Riau, Indonesia
Seorang Mahasiswa di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Angkatan 2006 pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam. Semoga Khutbah Jum'at Kontemporer Ini Berguna Bagi Kita Semua

Kamis, 03 Desember 2009

Muhasabah Di Bulan Muharam

47

Muhasabah Di Bulan Muharam

Oleh: Faqihuddin

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. قَالَ اللهُ تَعَالَى:
يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.
إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَأَحْسَنَ الهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. أَمَّا بَعْدُ؛

Sidang Jum’ah yang berbahagia.
Setelah kita bersyukur kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dan bershalawat kepada nabi kita Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam. Kita berharap dan memohon semoga Allah Subhannahu wa Ta'ala, meridhoi dan menerima amalan yang kita lakukan sebagai amalan ibadah yang diterima serta kita memohon pula untuk senantiasa dijadikan pengikut Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam yang setia hingga akhir hayat serta kita tidak kembali keharibaanNya kecuali dalam keadaan berserah diri kepadaNya, sebagaimana yang Allah perintahkan kepada kita di dalam surat Ali Imran ayat 102: Artinya: “Dan janganlah kamu mati, kecuali dalam keadaan beragam Islam.” (QS. Ali Imran 102)
Sidang Jum’at yang berbahagia

Perputaran waktu terus bergulir seiring dengan perputaran matahari. Dari hari ke hari, minggu ke minggu dan bulan ke bulan, tanpa terasa kita sampai pada suatu putaran bulan Muharam yang merupakan permulaan dari putaran bulan dalam kalender hijriyah. Banyak dari saudara kita yang menjadikan bulan Muharram ini sebagai momentum, sehingga memperingatinya merupakan suatu hal yang menjadi keharusan bahkan terkadang sampai keluar dari syari’at Islam. Padahah Rasul Shalallaahu alaihi wasalam dan para sahabatnya serta ulama pendahulu umat tidak pernah melakukan hal tersebut.

Sidang Jum’at yang berbahagia
Mestinya kita banyak bertafakur untuk bermuhasabah atas bertambahnya umur ini, karena sesungguhnya dengan bertambah-nya umur berarti hakekatnya berkurang kesempatan untuk hidup di dunia ini. Allah menciptakan kita hidup di muka bumi ini bukan untuk sia-sia. Tanpa tujuan yang jelas. Sebagaimana kita tahu bersama bahwa Allah menciptakan makhluk bernama manusia tiada lain hanya untuk beribadah kepadaNya. Allah berfirman di dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56 sebagai berikut:
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu (beribadah kepadaKu).”
Sidang Jum’at yang berbahagia ..

Hidup di dunia ini sementara bukan kehidupan yang abadi atau kekal, dan dunia ini hanya merupakan persinggahan, yang tujuannya adalah kehidupan yang kekal abadi yaitu kehidupan akhirat. Berkenaan dengan ini Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
Artinya: “Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal”. (Al-A’la: 17).
Ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan dunia dengan segala gemerlapan dan keindahannya tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kebaikan dan kekekalan kehidupan akhirat yang kekal abadi.

Sidang Jum’at yang berbahagia
Maka seorang yang beriman kepada Allah, dia harus lebih memanfaatkan kehidupan dunia ini dengan sebaik-baiknya untuk mempersiapkan kehidupan yang abadi tersebut. Dan menjadikan dunia ini sebagai sarana menuju kehidupan akhirat yang lebih baik. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman dalam surat Al-Hasyr:
Artinya: “Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akherat) dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Al-Hasyr: 18).

Sidang Jum’at yang berbahagia ..
Lalu bekal apa yang akan kita bawa menuju kehidupan yang penuh dengan kebaikan tersebut? Dengan hartakah? Pangkatkah yang kita banggakan? Atau keturunankah? Saya keturunan raja, bangsawan atau kyai. Ternyata bukan itu semua, sebab Allah Maha Kaya, Maha Berkuasa dan Maha Suci tidak memandang yang lain dari hambaNya kecuali taqwa hambaNya. Sebagaimana Allah ingatkan dalam firmanNya:
Artinya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu”.

Sidang Jum’at yang berbahagia
Jelas bagi kita bahwa bekal yang harus kita persiapkan tiada lain hanyalah taqwa, karena taqwa adalah sebaik-baik bekal dan persiapan. Allah berfirman dan mengingatkan kita semua dalam surat Al-Baqarah:
Artinya: “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepadaKu hai orang-orang yang berakal”. (QS. Al. Baqarah: 197).
Sering kita mendengar kata takwa dari ustadz, mubaligh dan para penceramah, namun bagi kebanyakan kita antara perbuatan dengan apa yang didengar tentang takwa jauh dari semestinya. Mengapa demikian? Di antara sebabnya mereka belum tahu hakekat takwa, tingkatan dan buah dari takwa tersebut. Sehingga hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri tanpa adanya perhatian penuh terhadap pentingnya bertakwa yang merupakan sebaik-baik bekal bagi kehidupan dunia ini terlebih kehidupan akhirat nanti.

Sidang Jum’at yang berbahagia ...
Ar-Rafi’i menyatakan dalam Al-Mishbahul Munir Fi Gharibisy Syahril Kabir, “Waqahullahu Su’a” artinya Allah menjaga dari kejahatan. Dan kata Al-Wiqa’ yaitu segala sesuatu yang digunakan sebagai pelindung. Itulah arti takwa secara bahasa. Sedangkan takwa menurut syariat para ulama berbeda pendapat, namun semuanya bermuara pada satu pengertian, yaitu seorang hamba melindungi dirinya dari kemurkaan Allah, dan juga siksaNya. Hal itu dilakukan dengan melaksanakan yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarangNya. Ibnu Qayyim menyatakan, hakikat takwa adalah mentaati Allah atas dasar iman dan ihtisab, baik terhadap perkara yang diperintahkan ataupun perkara yang dilarang. Maka dia melakukan perintah itu karena imannya terhadap apa yang diperintahkanNya disertai dengan pembenaran terhadap janjiNya, dengan imannya itu pula ia meninggalkan yang dilarangNya dan takut terhadap ancamanNya.

Sidang Jum’at yang berbahagia.
At-Takwa dalam Al-Qur’an mencakup tiga makna yaitu: pertama: takut kepada Allah dan pengakuan superioritas Allah. Hal itu seperti firmanNya:
Artinya: “Dan hanya kepadaKulah kamu harus bertakwa.” (Al-Baqarah: 41).
Kedua: Bermakna taat dan beribadah, sebagaimana firmanNya:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa”. (Ali Imran: 102).
Ibnu Abas Radhiallaahu anhu berkata, “Taatlah kepada Allah dengan sebenar-benarnya ketaatan.”
Mujahid berkata, “Takwa kepada Allah artinya, Allah harus ditaati dan pantang dimaksiati, selalu diingat dan tidak dilupakan, disyukuri dan tidak dikufuri.”
Ketiga, dengan makna pembersihan hati dari noda dan dosa. Maka inilah hakikat takwa dari makna takwa, selain pertama dan kedua. Allah berfirman yang artinya: “Barangsiapa yang mentaati Allah dan rasulNya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepadaNya maka mereka itulah orang yang beruntung”. (An-Nur: 52).

Sidang Jum’at yang berbahagia ..
Para mufassir juga berkata, bahwa takwa mempunyai tiga kedudukan:
1. Memelihara dan menjaga dari perbuatan syirik
2. Memelihara dan menjaga dari perbuatan bid’ah
3. Memelihara dan menjaga dari perbuatan maksiat.
Sehingga seorang disebut muttaqin, selalu berusaha sungguh-sungguh berada dalam keadaan taat secara menyeluruh, baik dalam perkara wajib, nawafil (sunnah), meninggalkan kemaksiatan berupa dosa besar dan kecil. Serta meninggalkan yang tidak bermanfaat karena khawatir terjerumus ke dalam dosa, itulah cakupan takwa sebagaimana dimengerti oleh salafush shalih.

Sidang Jum’at yang berbahagia.
Apa yang kita dapatkan bila bertakwa kepada Allah?
Allah Ta’ala menjanjikan kepada kita, akan berada dalam kebahagiaan hidup didunia dan akhirat. Di antara janji Allah yang merupakan buah dari takwa adalah memberikan jalan keluar dan mendatangkan rizki. Allah Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (At-Thalaq: 2-3).

Mengadakan jalan keluar artinya menyelamatkannya dari setiap kesulitan di dunia dan akherat. Ibnu ‘Uyainah berkata itu artinya, ia mendapat keberkahan dalam rizkinya. Dan Abu Sa’id Al-Khudri berkata: Barangsiapa berlepas dari kuatnya kesulitan dengan kembali kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar dari beban yang ia pikul. “ (Jami Ahkamiil Qur’an, VIII: 6638-3369, secara ringkas) Dan balasan bagi mereka di akhirat yang jelas adalah akan mewarisi tempat yang merupakan dambaan setiap insan yaitu Surga dengan segala kenikmatannya. Allah Ta’ala berfirman:

“Itulah Surga yang akan kami wariskan kepada hamba-hamba kami yang selalu bertakwa” (Maryam: 63).
Demikianlah kita sebagai hamba Allah, sudah semestinya dalam menghadapi bulan Muharam ini dengan bertafakkur, sudah sejauh mana persiapan kita menghadapi kehidupan yang abadi tersebut. Yang terkadang kita begitu bersemangat dan penuh antusias menggapai kehidupan yang fana ini. Mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Kedua

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: {وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا} وَقَالَ: {وَمَن يَتَّقِ اللهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا}
ثُمَّ اعْلَمُوْا فَإِنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَالسَّلاَمِ عَلَى رَسُوْلِهِ فَقَالَ: {إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا}.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. وَأَقِمِ الصَّلاَةَ

Hijrah, Peristiwa Penuh Strategi

46

Hijrah, Peristiwa Penuh Strategi

Oleh: H Hartono Ahmad Jaiz

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.
أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

Adegan yang sangat tegang memecahkan genangan air mata Abu Bakar di dalam gua Tsur, di luar kota Makkah. Musuh-musuh yang pedangnya siap menebas Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalamberdiri di hadapan Abu Bakar, hanya berbatas cahaya. Abu Bakar mendampingi Nabi Shalallaahu alaihi wasalam di dalam gua, sedang musuh-musuh yang siap "menerkam" berdiri di mulut gua. Isak tangis pun tak bisa ditahan, keluar dari mulut Abu Bakar yang mengkhawatirkan, Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam ditangkap musuh dan dibunuh. Nabi Shalallaahu alaihi wasalam membisiki Abu Bakar; “Laa tahzan innallaha ma'anaa”, janganlah engkau bersedih hati, karena sesungguhnya Allah beserta kita.

Musuh bebuyutan Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam yang memimpin pengejaran dan akan membunuh Nabi pun berada di mulut gua Tsur, 5 kilometer dari Makkah. Justru Umayyah Ibnu Khalaf, musuh bebuyutan Nabi itulah yang menganggap mustahil Muhammad yang sedang dicari-cari itu berada di dalam gua ini. Maka bubarlah para calon pembunuh yang ingin menggondol 100 unta bila menemukan Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam ini.

Tiga malam lamanya Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam dan Abu Bakar As-Shiddiq berada di dalam gua. Sementara orang-orang kafir Makkah yang sejak semula memusuhi bahkan ingin membunuh Nabi itu meningkat jadi berlomba mencari hadiah 100 unta dalam rangka membunuh Nabi. Tingkah polah kaum kafir Makkah yang haus darah dan serakah harta ini tidak mudah diajak kompromi. Untuk itu, Abdullah bin Abu Bakar memainkan peran yang cukup penting. Setiap malam Abdullah bin Abu Bakar menginap di dekat kaum Quraisy yang memusuhi Nabi di Makkah. Pada saat manusia lelap tidur menjelang fajar, Abdullah mendatangi Nabi, lantas pagi hari Abdullah sudah berada di kalangan kaum Quraisy Makkah. Maka orang-orang Quraisy menduga, Abdullah tetap berada di Makkah bersama mereka. Padahal, semua gerak-gerik dan rencana Quraisy telah disadap dan disampaikan kepada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam .

Untuk menghilangkan jejak-jejak kaki Abdullah yang berjalan di padang pasir antara Makkah dan gua Tsur itu, maka Amir bin Fuhairah menggiring kambingnya menyusuri bekas-bekas tapak kaki Abdullah, mendekati gua Tsur. Hilanglah jejak-jejak kaki di padang pasir itu. Sementara, Asma' binti Abu Bakar membawakan makanan untuk Nabi dan Abu Bakar yang berada di dalam gua.

Untuk melanjutkan perjalanan, keluar dari gua Tsur menuju Yatsrib (kini bernama Madinah), Abu Bakar sebelumnya telah berjanji dengan penunjuk jalan yang mahir, bernama Abdullah Bin Uraiqith. Penunjuk jalan ini disewa, dan diharap menemui Abu Bakar di gua Tsur setelah tiga hari. Sekalipun Abdullah Bin Uraiqith ini masih belum Islam, namun ia tidak mau membocorkan perjanjian, dan tidak tergiur oleh sayembara hadiah 100 unta bagi yang mampu menemukan/membunuh Nabi.

Dalam perjalanan dari gua Tsur menyusuri pantai menuju ke Yatsrib berkendaraan unta, Nabi dan Abu Bakar yang dipandu oleh Abdullah Bin Uraiqith ini dikejar oleh Suraqah Bin Malik Al-Mudlaji dengan kuda. Setiap hampir sampai di belakang Nabi Muhammad SAW, kuda Suraqah terperosok kaki depannya ke dalam pasir. Sampai tiga kali, dan yang terakhir, dari lobang yang memerosok-kan kaki kuda itu keluar debu yang amat banyak. Maka Suraqah minta perlindungan kepada Nabi dan Abu Bakar. Dan Suraqah yakin, Nabi dengan ajarannya itu akan menang.

Kehadiran Nabi Shalallaahu alaihi wasalam sudah ditunggu-tunggu oleh masyarakat di Yatsrib. Mereka dengan sangat gembira menjemput Nabi SAW. Namun Nabi tidak langsung ke Yatsrib, singgah dulu di Quba', mendirikan masjid. Hingga sekarang dikenal dengan Masjid Quba', dekat Madinah. Peristiwa singgah di Quba, di tempat Bani Amr bin Auf inilah yang sampai kini dicatat sebagai peristiwa hijrah yang menurut penyelidikan Mahmud Basya, ahli falak, terjadi pada 2 Rabi'ul Awwal, bertepatan 20 September 622 Masehi. Tanggal inilah yang kemudian dijadikan perhitungan tahun pertama Hijriyah. Hal itu ditetapkan dalam sidang pada masa pemerintahan Umar bin Khothob, 17 Hirjiyah/639 M atas usulan Ali bin Abi Tholib. Sekalipun Hijrah itu sendiri terjadi pada bulan Rabi'ul Awwal, namun tidak ada masalah dalam penanggalan Hilaliyah dimulai dengan Muharram. (lihat Nurul Yaqin, halaman 83 atau terjemahannya hal 108).

Bukan Meninggalkan Medan
Peristiwa hijrah (pindahnya) Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dari Makkah ke Yatsrib (Madinah) itu bukanlah suatu kejadian pemimpin lari meninggalkan medan. Karena, walaupun telah "sempurna" kekejaman kaum kafir Quraisyh dalam memusuhi Nabi dan pengikutnya, tidaklah Nabi lari duluan. Umat Islamlah yang dipersilakan duluan untuk meninggalkan Makkah. Sedang di Makkah tinggallah Nabi, Abu Bakar (yang tadinya akan berangkat pula, lalu diminta untuk bersama Nabi), Shuhaib, Ali, Zaid bin Haritsah dan beberapa orang lemah yang belum siap berhijrah. Ali bertugas menggantikan tidur di tempat tidur Nabi Shalallaahu alaihi wasalam saat malam pengepungan oleh kaum Quraish. Sedang Abu Bakar diminta untuk menunggu Nabi di luar Makkah, yang kemudian bertemu untuk masuk ke gua Tsur seperti tersebut.

Untuk membela agama yang akan ditumpas oleh kaum kafir Quraisy ini Abu Bakar membawa harta sebanyak 6.000 Dirham, mata uang perak. Beratnya, 6.000 x 3,12 gram = 18.720 gram. Nilainya sama dengan 2.808 gram emas, (nilai ini diperbandingkan dalam zakat). Ukuran zakat harta adalah 200 Dirham (perak) atau 20 Dinar (emas). 20 Dinar emas = 20 mitsqol = 93,6 gram. Ini menurut Fiqh Islam, H. Sulaiman Rasyid, (192-193) 1. Bekal Abu Bakar 6.000 Dirham itu dicatat dalam buku "Muharram dan Hijrah", Amir Taat Nasution, hal 32.

Peran Abu Bakar Shiddiq dalam peristiwa Hirjah ini sungguh besar. Entah berapa dirham Abu Bakar menyewa tukang penunjuk jalan, Abdullah Bin Uraiqith yang belum memeluk agama Islam, sampai tidak tergiur memilih ikut sayembara hadiah 100 unta bila menemukan/membunuh Nabi Shalallaahu alaihi wasalam. Pengaruh Abu Bakar terhadap anak-anaknya, Abdullah dan Asma', hingga menjadi penyelidik khusus dan penjamin makan yang cukup menanggung risiko dalam perjalanan Makkah-Gua Tsur. Usaha maksimal Abu Bakar yang penuh risiko, baik jiwa maupun harta itu, masih pula dilacak oleh kaum kafir Quraisy sampai di hadapan Abu Bakar, di mulut gua. Maka, menangisnya Abu Bakar, sebagai manusia, sangat bisa dimaklumi. Apalagi, yang didampingi adalah Nabi Shalallaahu alaihi wasalam yang akan dibunuh. Tentu saja Abu Bakar amat khawatir, bagaimana nasib umat Islam yang telah berada di negeri orang, di Madinah (Yatsrib). Siapa pengayom jiwa mereka. Dan siapa lagi nanti yang akan membimbing menyiarkan ajaran Islam yang baru embrio ini.

Sewaktu dikejar oleh Suraqah di tengah perjalanan menuju Yastrib, Abu Bakarlah yang tahu persis bagaimana keganasan orang yang akan membunuh Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dan ingin meraih hadiah 100 unta sebagai pahlawan Quraisy. Abu Bakar senantiasa menengok ke belakang, sedang Nabi Shalallaahu alaihi wasalam tetap tegar menghadapkan muka ke depan. Peristiwa-peristiwa menegangkan yang langsung dialami oleh Abu Bakar dalam mendampingi Nabi Shalallaahu alaihi wasalam ini lebih menebalkan keimanannya yang memang sudah kaliber amat tangguh. Hingga, harta benda seluruhnya disumbangkan untuk Islam, di bawa ke hadapan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam pada peristiwa lain. Sampai Nabi Shalallaahu alaihi wasalam terheran-heran. Ditanya, apa yang masih ada padamu? Malah dijawab oleh Abu Bakar, bahwa Allah dan Rasul-Nyalah yang ada padanya.

Perjuangan tidak selesai, walau hijrah telah dilaksanakan. Penggalangan kekuatan umat yang terdiri dari kaum Muhajirin (yang datang dari Mekkah) dan Anshor (yang asli Madinah) ditata dengan penuh semangat persaudaraan oleh Nabi Shalallaahu alaihi wasalam. Hingga kaum Anshor rela mengorbankan harta untuk saudara-saudaranya, kaum Muhajirin. Hingga sebagian mereka merelakan sebagian isterinya dicerai agar dikawini saudaranya, kaum Muhajirin. Semua itu dilaksanakan dengan penuh keikhlasan dan kesadaran. Karena, semuanya menyadari, kaum kafir Makkah tentu tidak rela adanya peristiwa hijrah massal ini. Ternyata pada tahun kedua Hijriyah, kaum kafir Quraisy telah menyiapkan 950 tentara, 100 kuda dan 700 unta untuk menyerbu umat Islam. Terjadilah perang Badr pada bulan Ramadhan, 2 Hijriah. Abu Lahab, dedengkot kafir Quraisy rela menyumbangkan 100 unta untuk perang menyerbu muslimin yang berjumlah 313 orang dengan 2 kuda dan 70 unta. Perang yang langsung dipimpin Nabi Shalallaahu alaihi wasalam ini dimenangkan oleh kaum muslimin, suatu prestasi yang sangat di luar dugaan. Hingga, seketika Abu Lahab, dedengkot kafir Quraisy mendengar kabar kekalahan itu, ia langsung berodol jantungnya. 100 unta yang disumbangkan untuk memusuhi muslimin telah sia-sia, hingga ia sangat menyesalinya.

Pengaruh hijrah dan kemenangan perang Badr ini satu segi lebih memantapkan muslimin Muhajirin dan Anshor, namun satu segi menjadikan tokoh Madinah yang akan tergusur pengaruhnya serta kaum Yahudi, menyikapi dengan tingkah lain. Memilih nifak atau mengadakan makar. Abdullah bin Ubay bin memilih nifak, sedang kaum Yahudi merencanakan makarnya untuk membunuh Nabi Shalallaahu alaihi wasalam. Dengan demikian, peristiwa hijriyah ini disusul dengan problema yang cukup kompleks. Bukan sekadar penggusuran secara fisik seperti di Makkah, namun lebih beragam lagi' permusuhan licik, musuh dalam selimut, dan persekongkolan jahat yang tak henti-hentinya.

Kemunafikan dan persekongkolan yang menghadang di hadapan umat Islam bukan membuat padamnya Islam, namun justru menambah wawasan dan kecermatan umat dalam menempuh gelombang hidup. Umat tidak berfirqoh-firqoh (pecah belah), tidak menonjolkan identitas keaslian daerahnya (Makkah/Muhajirin, Madinah/Anshor). Semuanya dalam persaudaraan, seia sekata. Tabiat pedagang dari Makkah yang keras bisa bersatu menjadi bersaudara dengan tabiat petani Madinah yang lunak dan sopan. Perpaduan yang saling tenggang rasa, tolong menolong, tanpa mengungkit jasa, tanpa mengeruk keuntungan pribadi dengan dalih demi kelancaran pembinaan masyarakat; itu semua mewujudkan umat yang terbaik. Khoiro Ummah, sebaik-baik umat. Jegal-menjegal tidak mereka kenal. Hingga, orang munafiq seperti Abdullah bin Ubay bin Salul yang ingin senantiasa menjegal Nabi Shalallaahu alaihi wasalam serta pengikutnya, justru ia sendiri sangat rapi dalam menyimpan kemunafikannya. Sangat menampakkan keislamannya, setiap shalat pun di belakang Nabi Shalallaahu alaihi wasalam .

Peristiwa Hijrah yang membuahkan masyarakat berkadar khoiro ummah ini mengakibatkan tidak berdayanya kaum kafir, dan tidak berkutiknya orang munafik. Mafhum mukholafah atau analogi logisnya, di saat umat kondisinya bobrok, orang munafik pun tidak mendapatkan hasil apa-apa. Karena, di saat masyarakat bobrok kondisinya, tentu saja kebobrokan itu akibat dari banyaknya orang munafik. Banyaknya jumlah munafik kini mengakibatkan perben-turan kepentingannya, otomatis akan sia-sia. Ibarat pucuk cemara yang meliuk ikut hembusan angin, di saat angin sudah berbalik arah, pucuk daun itu belum sempat berbalik, kemudian bertabrakan sesamanya.

Hijrah membuahkan masyarakat muslim terbaik, dan kemunafikan tidak berkutik. Sebaliknya, bila muslimin terbaik itu jumlahnya sangat minim, maka kemunafikan pun tidak membuah-kan hasil. Naluri manusia cenderung membela kebenaran, yang dalam istilah agama disebut fitrah. Maka Islam disebut pula agama fitrah, yaitu agama yang memang sesuai dengan naluri manusia itu sendiri. Hingga tak mengherankan, para musuh bebuyutan, kaum kafir Makkah yang mengejar-ngejar Nabi Shalallaahu alaihi wasalam hingga Nabi berhijrah itu, 8 tahun kemudian mereka semua masuk Islam dengan sukarela. Sedang Nabi n sama sekali tidak dendam kepada mereka. Lalu Nabi n menegaskan, tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah (terbukanya Makkah, yaitu penduduk Makkah masuk Islam semua secara serentak, tahun 8 Hijriyah). Tokoh-tokoh tua, seperti Abu Sufyan yang tadinya sangat memusuhi Nabi Shalallaahu alaihi wasalam pun masuk Islam. Tidak ada penolakan atau kata terlambat yang diucapkan oleh Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, sekalipun kesadaran mereka baru datang di masa pensiun.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا فَاسْتَغْفِرُوا اللهَ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Kedua

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: {وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا} وَقَالَ: {وَمَن يَتَّقِ اللهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا}
ثُمَّ اعْلَمُوْا فَإِنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَالسَّلاَمِ عَلَى رَسُوْلِهِ فَقَالَ: {إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا}.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ. اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. وَأَقِمِ الصَّلاَةَ.

Potret Haji Kita, Antara Cita-Cita Dan Fakta

45

Potret Haji Kita, Antara Cita-Cita Dan Fakta

Oleh: Agus Hasan Bashori, Lc

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الْوَاسِعِ الْعَظِيْمِ الْبِرِّ الرَّحِيْمِ خَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ وَأَنْزَلَ الشَّرْعَ فَيَسَّرَهُ وَهُوَ الْحَكِيْمُ الْعَلِيْمُ، بَدَأَ الْخَلْقَ وَأَنْهَاهُ وَيَسَّرَ الْفُلْكَ وَأَجْرَاهُ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ، الْقَائِلُ فِي الْكِتَابِ الْكَرِيْمِ: ( التوبة: 36) أَحْمَدُهُ عَلَى جَلاَلِ نُعُوْتِهِ وَكَمَالِ صِفَاتِهِ وَأَشْكُرُهُ عَلَى تَوْفِيْقِهِ وَسَوَابِغِ نِعْمَتِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ فِي أُلُوْهِيَّتِهِ وَرُبُوْبِيَّتِهِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، الْمَبْعُوْثُ إِلَى جَمِيْعِ بَرِيَّتِهِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ فِيْ سُنَتِهِ. مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ اِتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ.

Jamaah shalat jum’at yang berbahagia
Marilah kita tingkatkan Iman dan taqwa kepada Allah karena hanya dengan taqwa kita akan mendapatkan ampunan, pertolongan dan surgaNya yang agung.
Kita sekarang berada pada bulan Dzul Qa’dah bulan kesebelas dari bulan Qamariyah, satu dari empat bulan yang disebut dengan bulan-bulan haram اشهر الحرم dan satu dari tiga bulan haji yang disebut dengan أشهر معلومات di sebut Dzul Qa’dah karena mereka:

يَقْعُدُوْنَ فِيْهِ عَنِ اْلأَسْفَارِ وَالْقِتَالُ اِسْتِعْدَادًا لإِحْرَامٍ بِالْحَجِّ.

“Mereka duduk (tinggal dirumah) tidak melakukan perjalanan maupun peperangan sebagai persiapan untuk melakukan ihram haji”.
Pada hari ini kita saksikan bersama persiapan dan pem-berangkatan para jemaah calon haji. Kita rasakan bersama betapa kebahagiaan telah menghiasi wajah mereka dan sejuta harapan telah tertanam dalam di lubuk hati mereka, manakala saudara-saudara kita tadi meninggalkan kampung halamannya terbang menuju kiblat umat Islam sedunia, memenuhi panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tidak ada ibadah seagung ibadah haji, tidak ada sesuatu agama yang memiliki konsep ibadah seperti konsep haji Islam. Haji mengandung seribu makna, merangkum sejuta hikmah. Karena itu haji merupakan tiang kelima dari kelima pilar utama dalam Islam.
Di lihat dari sebutannya saja ibadah ini sudah unik. Betapa tidak Al-Allamah Abu Abdillah Muhammad bin Abdir Rohman Al-Bukhari Alhanafi Azzahid (546 H) menjelaskan. “Haji adalah bermaksud (berkeinginan dan bersengaja), sementara maksud dan niat, keduanya menghantarkan seseorang menuju cita-cita, niat adalah amal yang paling mulia karena ia adalah pekerjaan anggota yang paling utama yaitu hati, manakala ibadah ini adalah ibadah yang paling besar dan ketaatan yang paling berat maka disebut ibadah yang paling utama” yaitu Al-Haj yang berarti al-qashdu.

Tatkala seorang haji tiba di ka’bah, dan sebelumnya dia sudah mengetahui bahwa pemilik rumah (ka’bah) tidak berada di sana, maka dia berputar mengelilingi rumah : Thawaf mengisyaratkakn bahwa ka’bah bukanlah maksud dan tujuan. Tetapi tujuannya adalah pemilik rumah رب الكعبة..

Begitu pula mencium hajar aswad, bukan berarti dan bukan kerena menyembah batu, melainkan karena mengikuti sunnah rasul. Karena beliaulah yang mencontohkan kita untuk melakukan yang demikian. Inilah pembeda antara musyrik dan muslim. Dulu orang musyrik mencium batu karena untuk menyembah batu. Tetapi sekarang Muslim mencium batu untuk mengikuti sunnah rasul yang diantara hikmahnya adalah seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu .

“Hajar Aswad adalah bagaikan tangan kanan Allah dimuka bumi ini. Maka barangsiapa yang menjabatnya (menyentuhnya) atau menciumnya maka seolah-olah ia menjabat (tangan) Allah dan mencium tangan kananNya.”
Karena itu ketika menyentuhnya seorang haji harus mengingat bahwa ia sedang berbai’at kepada Allah (pencipta dan pemilik batu yang telah memerintah untuk menyentuhnya). Berbai’at untuk selalu taat dan tunduk kepadaNya, dan harus ingat barang siapa yang menghianati bai’at maka ia berhak mendapatkan murka dan adzab Allah.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.
Karena maksud kita bukan البيت tetapi رب البيت dan karena unsur niat begitu utama dan penting maka Allah brfirman:

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ.

“Dan sempurnakanlah haji dan umrah itu karena Allah”
Karena itu pulalah para ulama menganjurkan bahwa kewajiban pertama bagi calon haji adalah bertaubat. Bertaubat dari semua dosa dan maksiat, baik calon haji itu seorang petani, pegawai, polisi, artis, dokter, mentri maupun seorang kiayi, laki-laki maupun perempuan , tua maupun muda.
Inilah yang disyaratkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya:

وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى.

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah taqwa”(al-Baqarah; 197).
Tentu saja kita sudah maklum bahwa taqwa itu tidak bisa dicapai kecuali dengan bertaubat dan meninggalkan segala jenis perbuatan maksiat.
Kalau calon haji sudah bertaubat maka ia akan mampu memahami dan menjiwai syiar haji yang teramat indah itu yaitu.

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ.

Ia akan menghayati seolah-olah berucap: Ya Allah aku datang, akau datang, memenuhi panggilanMu, lalu aku berdiri di depan pintuMu. Aku singgah di sisiMu. Aku pegang erat kitabMu, aku junjung tinggi aturanMu, maka selamatkan aku dari adzabMu, kini aku siap menghamba kepadaMu, merendahkan diri dan berkiblat kepadaMu. BagiMu segala ciptaan, bagiMu segala aturan dan perundang-undangan, bagiMu segala hukum dan hukuman tidak ada sekutu bagiMu. Aku tidak peduli berpisah dengan anak dan istriku, meninggalkan profesi dan pekerjaan, menanggalkan segala atribut dan jabatan, karena tujuanku hanyalah wajah-Mu dan keridhaanMu bukan dunia yang fana dan bukan nafsu yang serakah maka amankan aku dari adzabMu.

Ma’asiral muslimin rahimakumullah.
Jika calon haji sudah bertaubat maka ia pasti akan mampu mencapai hakekat haji yang telah digariskan oleh Allah, dalam firman-Nya:
Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan Haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197)

Seorang yang beribadah haji tidak boleh melakukan rofats yaitu jima dan segala ucapan dan perbuatan yang behubungan dengan seksual. Tidak boleh melakukan Fusuq yaitu segala bentuk maksiat dan tidak boleh melakukan jidal yaitu perdebatan yang mengikuti hawa nafsu, bukan untuk mencari kebenaran.

Maka barang siapa yang telah sukses memenuhi perintah Allah tersebut ia akan mendapatkan haji yang mabrur, yang diantara tandanya adalah sepulang haji ia tidak akan mengulang maksiat, dosa-dosa yang lalu, ia akan tampil sebagai muslim yang shalih dan muslimah yang shalihah.
Maka sebuah negara semakin banyak muslim dan muslimah yang taat, negara itu akan semakin aman makmur dan sentosa. Maksiat dan kemungkaran akan menepi, perjudian dan pencurian akan sepi, perzinaan dan pembunuhan akan mudah diatasi. Apalagi jika yang pergi haji adalah Bapak Bupati, para Mentri dan Pak Polisi.

Sepulang haji yang kikir akan menjadi dermawan, yang kasar akan menjadi pengantin dan yang biasanya menyebar kejahatan berubah menebar salam.
Itu semua manakala hajinya mabrur. Namun kenyataannya adalah bagaikan siang yang dihadapkan dengan malam, semuanya bertolak belakang, mereka tidak mengambil manfaat dari ibadah haji selain menambah gelar Pak Haji atau Bu Hajjah. Yang korup tetap korup, yang artis tetap artis, yang lintah darat tetap lintah darat, yang jahat tetap jahat.
Maka tidak heran jika Rofats, Fusuq dan Jidal marak dimana-mana sampai terjadi krisis moral, krisis nilai, krisis kemanusiaan, krisis politik, lingkungan, ekonomi dan sosial.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.
Demikianlah sekelumit tentang makna haji, haji mabrur dan potret haji kita, semoga Allah menjadikan haji kita yang dahulu dan yang akan datang menjadi haji yang mabrur, dan semoga dijauhkan dari haji yang maghrur (tertipu) dan mabur.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Kedua

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. وَقَالَ تَعَالَى: {وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا} وَقَالَ: {وَمَن يَتَّقِ اللهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا}
ثُمَّ اعْلَمُوْا فَإِنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَالسَّلاَمِ عَلَى رَسُوْلِهِ فَقَالَ: {إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا}.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ. اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. وَأَقِمِ الصَّلاَةَ.