10
Antara Sunnah, Bidah Dan Taklid
Oleh: Iwan Sutedi
Ikhwan fillah rahimakumullah.
Merupakan suatu kewajiban bagi kita untuk menuntut ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah agar kita dapat meghindari dan menolak syubhat di dalam memahami dien Islam ini. Telah kita sepakati bersama bahwa hanya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah kita dapat selamat dan tidak akan tersesat.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا، كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ.
“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, jika kalian berpegang teguh dengan keduanya kalian tidak akan sesat selama-lamanya yaitu: Kitabullah dan sunnah NabiNya”. (Hadist Riwayat Malik secara mursal (Al-Muwatha, juz 2, hal. 999).
Syaikh Al-Albani mengatakan dalam bukunya At-Tawashshul anwa’uhu wa ahkamuhu, Imam Malik meriwayatkan secara mursal, dan Al-Hakim dari Hadits Ibnu Abbas dan sanadnya hasan, juga hadist ini mempunyai syahid dari hadits jabir telah saya takhrij dalam Silsilah Ahadits As-Shahihah no. 1761).
Adakah pilihan lain agar kita termasuk dalam orang-orang yang selamat dan agar umat Islam ini memperoleh kejayaan lagi selain mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman para Salafus Shalih? tentu tidak ada, karena sebenar-benar ucapan adalah Kalamullah, sebaik-baik petunjuk adalah sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan sebaik-baik generasi adalah generasi sahabat yang telah Allah puji dan Allah ridhai.
Suatu kebahagiaan kiranya jikalau kita termasuk dalam golongan yang selamat, golongan Tha’ifah Manshurah (kelompok yang mendapat pertolongan) dari Allah.
Ikhwan fillah rahimakumullah
Kebanyakan ummat Islam, kini terjebak dalam taklid buta. Terkadang suatu anjuran untuk mengikuti dan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan sunnah serta memalingkan jiwa dari selain keduanya dianggap sebagai seruan yang mengajak kepada pelecehan pendapat para ulama dan menghalangi untuk mengikuti jejak para ulama atau mengajak untuk menyerang perkataan mereka. Padahal tidak demikian yang dimaksudkan, bahkan harus dibedakan antara mengikuti Nabi semata dengan pelecehan terhadap pendapat para ulama. Kita tidak boleh mengutamakan pendapat seseorang di atas apa yang telah dibawa oleh beliau dan tidak juga pemikirannya, siapapun orang tersebut. Apabila seseorang datang kepada kita membawakan suatu hadits, maka hal pertama yang harus kita perhatikan adalah keshahihan hadits tersebut kemudian yang kedua adalah maknanya. Jika sudah shahih dan jelas maknanya maka tidak boleh berpaling dari hadits tersebut walaupun orang disekeliling kita menyalahi kita, selama penerapannya juga benar.
Para Imam ulama salaf yang dijadikan panutan umat, mencegah para pengikutnya mengikuti pendapat mereka tanpa mengetahui dalilnya. Di antara ucapan Abu Hanifah: “Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami sebelum dia mengetahui dari mana kami mengambilnya.” Kemudian:
“Bila saya telah berkata dengan satu pendapat yang telah menyalahi kitab Allah ta’ala dan sunah Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam , maka tinggalkanlah pendapatku.”
Sedangkan mayoritas ummat Islam sekarang ini mereka berkata, “Ustadz saya berkata.”
Padahal sudah datang kepada mereka firman Allah dalam surat Allah Hujarat ayat 1:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya.”
Ibnu Abbas berkata. “Hampir-hampir saja diturunkan atas kalian batu dari langit. Aku mengataklan kepada kalian,” Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, tetapi kalian mengatakan, Abu Bakar berkata, Umar berkata.”
Firman Allah dalam surat 7 ayat 3:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padaNya).”
Kemudian salah satu penyakit umat Islam sekarang ini disamping taklid buta adalah banyaknya para pelaku bid’ah. Dan di antara sebab-sebab yang membawa terjadinya bid’ah adalah:
1. Bodoh tentang hukum agama dan sumber-sumbernya
Adapun sumber-sumber hukum Islam adalah Kitabullah, sunnah RasulNya dan ijma’ dan Qiyas. Setiap kali zaman berjalan dan manusia bertambah jauh dari ilmu yang haq, maka semakin sedikit ilmu dan tersebarlah kebodohan. Maka tidak ada yang mampu untuk menentang dan melawan bi’dah kecuali ilmu dan ulama. Apabila ilmu dan ulama telah tiada dengan wafatnya mereka, bi’dah akan mendapatkan kesempatan dan berpeluang besar untuk muncul dan berjaya dan tokoh-tokoh bid’ah bertebaran menyeret umat ke jalan sesat.
2. Mengikuti hawa nafsu dalam masalah hukum
Yaitu menjadikan hawa nafsu sebagai sumber segalanya dengan menyeret/membawa dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk mendukungnya, dalil-dalil tersebut dihukumi dengan hawa nafsunya. Ini adalah perusakan terhadap syari’at dan tujuannya.
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah-nya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmuNya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiar-kan sesat) ...” (Al-Jatsiyah: 23).
3. Fanatik buta terhadap pemikiran-pemikiran orang tertentu
Fanatik buta terhadap pemikiran orang-orang tertentu akan memisahkan antara seorang muslim dari dalil dan al-haq. Inilah keadaan orang-orang yang fanatik buta pada zaman kita sekarang ini, Mayoritas terdiri dari pengikut sebagian madzhab-madzab, sufiyyah dan quburiyyun (penyembah-penyembah kuburan), yang apabila mereka diseru untuk mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah, mereka menolaknya. Dan mereka juga menolak apa-apa yang menyelisihi pendapat mereka. Mereka berhujah dengan madzab-madzab, syaikh-syaikh, kiyai-kiyai, bapak-bapak nenek moyang mereka. Ini adalah pintu dari sekian banyak pintu-pintu masuknya bid’ah ke dalam agama Islam ini.
4. Ghuluw (berlebih-lebihan)
Contoh dari point ini adalah madzab khawarij dan syi’ah. Adapun khawarij, mereka ghuluw berlebihan dalam memahami ayat-ayat peringatan dan ancaman. Mereka berpaling dari ayat-ayat raja’ (pengharapan), janji pengampunan dan taubat sebagaimana Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya ...” (An-Nisa’: 48,116).
5. Tasyabuh dengan kaum kuffar
Tasyabbuh (menyerupai) kaum kuffar adalah sebab yang paling menonjol terjatuhnya seorang kedalam bid’ah. Hal ini pulalah yang terjadi di zaman kita sekarang ini. Karena mayoritas dari kalangan kaum Muslimin taqlid kepada kaum kuffar pada amal-amal bid’ah dan syirik. Seperti perayaan-perayaan ulang tahun (maulid) dan mengadakan hari-hari atau minggu-minggu khusus dan perayaan serta peringatan bersejarah (menurut anggapan mereka) seperti: peringatan Maulid Nabi. Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an dan yang lainnya adalah meyerupai peringatan-peringatan kaum kuffar.
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk mereka”. (Abu Dawud).
6. Menolak bid’ah dengan bid’ah yang semisalnya atau bahkan yang lebih rusak
Contohnya ialah kaum Murji’ah, Mu’tazilah, Musyabibhah dan Jahmiyyah. Kaum Murji’ah memulai bid’ahnya dalam mensikapi orang-orang yang dizamannya, mereka berkata: “Kita tidak menghakimi mereka dan kita kembalikan urusannya kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala ”. Hingga akhirnya mereka sampai pada pendapat bahwa maksiat tidak me-mudharat-kan iman, sebagaimana tidak berfaedah ketaatan yang disertai kekufuran. Al-Baghdadi berkata: “Mereka dinamakan Murji’ah karena mereka memisahkan amal dari keimanan.”
Demikianlah, para ahlul bid’ah menjadikan kebid’ahan-kebid’ahan yang mereka lakukan sebagai satu amalan ataupun suatu sunnah, sedangkan yang benar-benar sunnah mereka jauhi. Padahal sesungguhnya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam telah bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa mengajarkan suatu amalan yang tidak ada keterangannya dari kami (Rasulullah), maka dia itu tertolak.” (Hadist riwayat Muslim).
Ihwan fillah rahimakumullah
Oleh karena itu jika kita mempelajari seluk beluk taqlid, kemudian kita pelajari hakekat kebid’ahan niscaya kita tahu bahwa ternyata antara bid’ah dan taqlid mempunyai hubungan yang sangat erat sekali. Jika kita perhatikan perbuatan bid’ah niscaya kita akan mengetahui bahwa pelakunya adalah seorang muqallid. Dan kalau kita melihat seorang muqallid, niscaya kita lihat bahwa dia tenggelam dalam kebid’ahan, kecuali bagi mereka yang dirahmati oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Berikut ini ada beberapa sebab yang menunjukkan bahwa taqlid itu mempunyai hubungan yang erat dengan bid’ah.
Muqallid tidak bersandar dengan dalil dan tidak mau melihat dalil; jika dia bersandar pada dalil, maka dia tidak lagi dinamakan muqallid. Demikian pula mubtadi’, diapun dalam melakukan kebid’ahan tidak berpegang dengan dalil karena kalau berpegang dengan dalil maka ia tidak lagi dinamakan dengan mubtadi’ karena asal bid’ah adalah mengadakan sesuatu hal yang baru tanpa dalil atau nash.
Taqlid dan bid’ah adalah tempat ketergelinciran yang sangat berbahaya yang menyimpangkan seseorang dari agama dan aqidah. Karena dua hal tersebut akan menjauhkan pelakunya dari nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan sumber kebenaran.
Taqlid dan bid’ah merupakan sebab utama tersesatnya umat terdahulu. Allah Subhannahu wa Ta'ala menceritakan dalam Al-Qur’an tentang Bani Isra’il yang meminta Musa Alaihissalam untuk menjadikan bagi mereka satu ilah dari berhala, karena taqlid kepada para penyembah berhala yang pernah mereka lewati.
FirmanNya:
“Dan kami seberangkan Bani Israil keseberang lautan itu, maka setelah mereka sampai pada satu kaum yang telah menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)!. Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Ilah)! “sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan.” (Al- A’raf: 138-139).
Sekalipun Nabi Musa Alaihissalam melarang dan mencerca mereka dan mereka mengetahui bahwa arca itu hanyalah bebatuan yang tidak memberi manfaat dan mudlarat, tetapi mereka tetap membikin patung anak sapi dan menyembahnya.
Hal ini disebabkan karena taqlid yang sudah menimpa diri mereka. Ayat ini sangat jelas menunjukkan bahaya taqlid dan hubungannya yang sangat erat dengan kebid’ahan bahkan dengan kesyirikan dan kekufuran. Hal inilah yang merupakan sebab kesesatan Bani Isra’il dan umat lainnya, termasuk sebagian besar ummat Muhammad Shallallaahu alaihi wa Salam .
Terakhir adalah bagaimana cara kita untuk keluar dari bid’ah ini
Jalan keluar dari bid’ah ini telah di gariskan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dalam banyak hadits. Dan satu di antaranya adalah berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman para Salafus Shahih, , karena mereka adalah orang yang paling besar cintanya kepada Allah dan RasulNya, paling kuat ittiba’nya, paling dalam ilmunya, dan paling luas pemahamannya terhadap dua wahyu yang mulia tersebut. Dengan cara ini seorang muslim mampu berpegang teguh dengan agamanya dan bebas dari kotoran yang mencemari dan terhindar dari semua kebid’ahan yang menyesatkan.
Mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan taufiq dan hidayahNya kepada kita semua dan kepada saudara-saudara kita yang terjerumus dan bergelimang di dalam kebid’ahan. Mudah-mudahan pula Allah menambah ilmu kita, menganugrahkan kekuatan iman dan takwa untuk bisa tetap istiqomah di atas manhaj yang hak dan menjalani sisa hidup di jaman yang penuh fitnah ini dengan bimbingan syari’at Muhammadiyah (syariat yang dibawa oleh Muhammad Shallallaahu alaihi wa Salam ), sampai kita bertemu Allah dengan membawa bekal husnul khatimah.
Amin ya Rabbal Alamin.
0 komentar:
Posting Komentar